Oleh: Bulan Parsadaan Damanik, S.Pd, SH
Adanya program Menteri BUMN Erik Tohir melalui Direksi PTPN IV untuk melakukan konversi tanaman teh menjadi sawit di Kebun Sidamanik, mendapat penolakan dari masyarakat Simalungun dan sejumlah lembaga pencinta lingkungan.
Masyarakat menilai, konversi teh ke tanaman sawit akan membawa bencana bagi masyarakat Kabupaten Simalungun dan masyarakat Kota Pematangsiantar.
Sejarah Perkebunan Teh di Sidamanik
Kebun teh Sidamanik di kenal sebagai kebun teh terbesar nomor 2 di Indonesia, mempunyai sejarah panjang dan menjadi saksi sejarah keberadaan penjajahan belanda di Indonesia.
Kebun teh Sidamanik dimulai dari adanya Vorte Verklaring pada tahun 1907 (Perjanjian Pendek) antara pemerintah penjajahan Belanda dengan Raja Siattar (Bersama Partuanon Sidamanik).
Selanjutnya pada tahun 1917 oleh Nedherland Hand Maskapi (NV.NHM), membuka perkebunan di wilayah kekuasan Partuanon Sidamanik (Oppung Nai Horsik Damanik) dan mendirikan pabrik pertama tahun 1927 yang mulai beroperasi pada tahun 1931.
Sejak di bukanya perkebunan teh tersebut, Belanda mendatangkan para pekerja kontrak dari Pulau Jawa dan mendatangkan orang-orang Toba untuk menguasai persawahan di sekitar kebun teh Sidamanik yang bertujuan mencukupi kebutuhan pangan para perkerja kebun.
Pasca Indonesia merdeka tahun 1945, di tahun 1957 secara resmi perkebunan teh Sidamanik diambil alih oleh pemerintah Indonesia dari NV NHN malalui Surat Keputusan Menteri Pertanian 229UM57, tertanggal 10 Agustus 1957 dan diperkuat oleh Undang-undang Nasionalisasi Nomor 861958 tahun 1961.
Saat itu, PPN dan Pusat Perkebunan Negara dilebur menjadi Badan Pimpinan Umum PPN daerah Sumatra Utara I-IX melalui UU Nomor 141 tahun 1961. Kemudian pada tahun 1963, Perkebunan Teh Sumatra Utara dialihkan menjadi Perusahan Aneka Tanaman IVANTAN-IV melalui PP Nomot 27 tahun 1963.
Selanjutnya pada tahun 1968 terjadi perubahan menjadi Perusahan Negara Perkebunan VIII PNP VIII melalui PP Nomor 141 tahun 1968 tanggal 13 April 1968. Dan pada tahun 1974 diubah kembali menjadi Persero yakni PT Perkebunan VIII (PTP VIII) melalui akte notaris GHS Lumban Tobing SH nomor 65 tanggal 31 April 1974, yang diperkuat SK Menteri Pertanian nomor YA 5523 tertanggal 7 Januari 1975. Dan pada tahun 1996, terjadi kembali resktruksisasi, dimana, Perkebunan Bah Butong masuk Menjadi PTPN IV.
Sejak tahun 2009, PTPN IV telah merencanakan program konversi teh ke tanaman sawit. Pada tahun 2012, PTPN IV telah melaksanakan konversi teh kesawit, namun kebijakan itu gagal setelah adanya penolakan dari masyarakat Simalungun
Mengingat naiknya harga sawit dan adanya keinginan PTPN IV lebih fokus kepada satu produk perkebunan sawit, maka ditahun 2022 ini, PTPN kembali mencanangkan program konversi teh ke tanaman sawit. Kebijakan ini dilaksanakan secara diam-diam, dan menurut pengakuan manejemen PTPN IV, bahwa niat konversi hanya untuk menyelamatkan tanah PTPN IV yang digarap oleh masyarakat.
Konversi teh ke tanaman sawit diperkirakan seluas 257 hektar dari luas perkebunan teh Sidamanik yang mencapai 8.373 hektar. Diketahui, sebelum tahun 2022, kurang lebih 300 hektar lahan sudah di konversi ke tanaman kelapa sawit.
Kelapa Sawit
Kelapa sawit adalah jenis tumbuhan yang termasuk dalam Genus Elaeis dan Ordo Arecaceae.
Nama ilmiahnya: Elaeis.
Kerajaan: Plantae Deviasi Magnoliophyta.
Famili: Arecaceae
Kelas: Liliopsida
Ordo: Arecales
Sifat dari pohon sawit adalah menyerap banyak unsur hara dan air dalam tanah, dan jenis pohon sawit bukan pohon yang bisa menahan air (menampung). Bahkan sawit sangat rakus terhadap air.
Dampak Negatif Tanaman Sawit
Ada beberapa dampak negatif dari perkebunan kelapa sawit dilihat dari segi ekologi, ekonomi sosial budaya, konflik lahan, sumber daya Agararia, pencemaran lingkungan, pemanasan global, kerentanan pangan, pencemaran air tanah dan udara.
Dampak ekologi pengembangan dan perluasan perkebunan kelapa sawit, merupakan proses konversi atau alih fungsi bentuk lahan yang merubah bentang alam lahan yang luas, sehingga menyebabkan kerusakan fungsi dan jasa lingkungan.
Dampak ekonomi perubahan bentang alam terutama hutan, lahan, badan air, danau dan sungai, akan menutup, membatasi dan mengurangi kemampuan dan akses masyarakat dalam meneruskan dan memelihara anugrah alam yang selama ini menjadi alat dan faktor yang menjadi sumber mata pencaharian dan pangan masyarakat.
Dampak sosial perubahan bentang alam juga sangat berpengaruh besar terhadap kondisi dan kehidupan sosial masyarakat akibat penguasaan dan persaingan, yang semakin mengurangi dan merubah secara paksa jati-diri, kebiasaan, dan kearifan masyarakat. Hal ini disebabkan berkurang atau tertutupnya hak dan akses, mata pencaharian, nilai budaya dan agama, mobilisasi tenaga kerja dari luar, dengan hadirnya perkebunan dan pabrik kelapa sawit.
Dampak budaya bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal lainnya mengalami perubahan, degradasi dan bahkan kepunahan kearifan lokal, tradisi, seni, nilai dan praktek kehidupan masyarakat yang sangat bergantung kepada kelestarian lingkungan pertanian, hutan, sungai, danau dan bentang alam lainnya.
Konflik lahan dan sumber daya agraria, penguasaan dan pemilikan skala besar oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit menyebabkan ketimpangan, ketidak-adilan dan hilangnya hak, akses, kepemilikan, pemanfaatan, dan distribusi sumber-sumber agraria yang ada di masyarakat. Sehingga terjadi benturan dan sengketa yang mengorbankan harta benda dan bahkan nyawa.
Pemanasan global dari kelapa sawit sangat erat dengan sumber-sumber emisi gas rumah kaca dari proses produksi dan rantai pasok minyak sawit yang mengakibatkan rusaknya fungsi dan kemampuan serapan gas rumah kaca oleh lahan, hutan, dan gambut. Termasuk gas-gas yang dihasilkan dari pabrik minyak sawit dan residu gas dari pupuk pertanian bahan kimia dan bahan bakar fosil aktifitas mesin pabrik dan perkebunan kelapa sawit.
Kerentanan pangan terutama masyarakat adat dan pedesaan akan berkurang, baik secara mutu dan jumlahnya, dengan semakin terbatasnya lahan pertanian dan sumber agraria akibat himpitan dan tekanan perluasan dan penguasaan oleh perkebunan kelapa sawit.
Pencemaran air, udara dan tanah bersumber dari aktifitas pembukaan lahan perkebunan seperti erosi dan sedimentasi, pembakaran lahan dan hutan, penggunaan bahan kimia pertanian yang bersumber dari pestisida dan herbisida berbahaya, beracun dan sangat mematikan oleh kebun sawit dan gas-gas pencemar lainnya dalam proses dan aktifitas pabrik terpapar dan menguap dalam air, tanah dan udara sekitarnya.
Dampak-dampak tidak langsung lainnya adalah buruknya tata kelola, sistem dan pranata hukum, dan lemahnya keinginan politik, komitmen kelembagaan dan kapasitas pemerintah dalam penegakan hukum dalam mengendalikan dampak perkebunan dan industri kelapa sawit. Termasuk menjamurnya korupsi, kolusi dan nepotisme, kabut asap, eksploitasi buruh, pekerja anak, perdagangan manusia, penghindaran pajak, ketidak-adilan gender, pelanggaran hak buruh, hak asasi manusia, dan lain-lain.
Kebun Teh Sidamanik Pendukung Utama Kaldera Toba
Sejak ditetapkan Geopark Danau Toba oleh UNESCO pada sidang Dewan Esekutif UNESCO di Paris Prancis 2 Juli 2020 lalu, membawa berkah bagi bangsa Indonesia khususnya masyarakat Sumatera Utara.
Penetapan UNESCO Global Geopark Danau Toba memberikan kesempatan dan juga tanggungjawab pemerintah dan masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan sebagai penopang utama keindahan Danau Toba.
Kebun teh Sidamanik mempunyai peran penting dalam menjaga kelestarian lingkungan dan mendukung tujuan utama pariwisata Danau Toba.
Secara administratifnya, kebun teh Sidamanik terletak di atas ketinggian 890 MDPL, membuat lokasi ini sangat cocok digunakan menjadi area refresing dan tempat persinggahan jika hendak berwisata ke Danau Toba rute Medan-Siantar- Sidamanik- Tigaras- Samosir.
Bahkan pengunjung Kebun Teh disaat hari libur bisa mencapai ribuan orang walaupun kebun teh Sidamanik belum dikelola dengan baik sebagai daerah tujuan wisata.
Dan jika kebun teh Sidamanik bisa dikelola sebagai daerah wisata secara profesional, selain sebagai perkebunan, kebun teh Sidamanik bisa menjadi sorga bagi pelancong lokal maupun mancanegara. Hal ini tentu akan bisa meningkatkan pendapatan pemerintah dan masyarakat.
Artinya, masyarakat bisa meningkatkan ekonominya dengan memafaatkan kebun teh Sidamanik, dibandingkan apabila kebun Sidamanik menjadi kebun sawit. Kalaupun masyarakat bisa memanfaatkan keberadaan kebun sawit, hanya dengan tindakan kriminalitas (pencurian buah sawit/ninja sawit).
Maka sudah saatnya kebun teh Sidamanik dikelola oleh lembaga tersendiri yang berorientasi pada pengembangan pariwisata kebun teh dengan membuka hotel, villa restauran dan bahkan bisa menyediakan outbond dengan teknologi canggih.
Dampak Konversi Teh Kesawit Dikebun Teh Marjandi
Perubahan kebun teh ke tanaman sawit di kebun Marjandi, Kecamatan Panei, Simalungun, menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat Simalungun. Dengan adanya perubahan kebun teh menjadi sawit, selain merusak keindahan alam, juga berdampak rusaknya daerah pertanian, persawahan dan bahkan bencana banjir telah terjadi berulang kali dialami masyarakat Panei Tongah, Kabupaten Simalungun, Sumut.
Bencana banjir di Panei Tongah jelas merusak sendi-sendi perekonomian masyarakat, sementara PTPN IV hanya mementingkan keuntungan bisnis dan tidak peduli atas keselamatan hidup masyarakat Simalungun. Ini sangat jelas sebagai pelanggaran Hak Azasi Manusia. Maka sudah selayaknya kebun sawit Marjandi dikembalikan menjadi kebun teh demi menyelamatkan keberlangsungan masyarakat Simalungun.
Jika Kebun Teh Sidamanik menjadi Produk Gagal PTPN IV
Apabila kebun teh Sidamanik dianggap sebagai bisnis perkebunan yang mengakibatkan kerugian PTPN IV, yang harus tetap disubsidi, sebaiknya pemerintah melalui PTPN IV menyerahkan kembali tanah kebun teh Sidamanik kepada pemilik yang sebenarnya yaitu Partuanon Sidamanik (Keturunan Op Nai Horsik Damanik).
Apalagi selama ini, sejak dikelola PTPN IV, tidak pernah membawa keuntungan bagi Suku Simalungun secara khusus Keturunan Opung Nai Horsik Damanik (Raja Sidamanik). Sedangkan ketika penjajahan Belanda masih mengelola kebun teh Sidamanik, Belanda masih memberikan perlakuan khusus kepada keluarga Kerajaan, dan bahkan biaya operasional Kerajaan dibiayai oleh pemerintah Belanda.
Sangat disayangkan Belanda sebagai penjajah, lebih menghargai masyarakat jajahannya, daripada PTPN IV sebagai saudara sendiri. Bahkan kehadiran PTPN IV di Simalungun dalam mengelola perkebunan yang dimana aset PTPN IV diperkirakan sekitar 65 persen dari luas HGU, wilayahnya berada di Kabupaten Simalungun.
Kehadiran PTPN IV seharusnya bisa menjawab permasalahan masyarakat terkait kemiskinan, sulitnya mendapat pendidikan dan sulitnya mendapatkan akses kesehatan sesuai dengan tuntutan Undang Undang Dasar.
Nyatanya masyarakat tidak merasakan tangunggjawab sosial PTPN IV kepada masyarakat sekitar, bahkan tidak jarang kita mendengar Istilah ‘Belanda Hitam’ untuk sebutan kepada Manejemen Perkebunan Plat Merah.
Konversi Kebun Teh jadi Kebun Sawit
Jika PTPN IV benar-benar mewujudkan kebijakan konversi teh menjadi sawit, ini sangat jelas suatu kebijakan yang keliru yang dapat membunuh secara langsung kehidupan masyarakat. Karena kita bisa berkaca dari konversi teh ke sawit di kebun Marjandi yang hampir puluhan tahun masyarakat harus menderita akibat banjir dan gagal panen. Dan sampai hari ini PTPN IV belum bisa mengatasi bencana banjir akibat konversi di Marjandi.
Maka masyarakat bukan hanya menolak konversi di kebun Sidamanik. Tapi masyarakat harus bisa mengembalikan perkebunan teh di kebun Marjandi. Dan sudah saatnya masyarakat Simalungun menuntut pertanggungjawaban Manejemen PTPN IV terhadap penderitaan rakyat Simalungun dengan melakukan gugatan. Kebijakan Konversi teh ke sawit harus dilawan. Kalau tidak, bencana akan melanda Simalungun.
Penulis Merupakan Dewan Pembina di Laskar Budaya Simalungun, dan Keturunan Opung Nai Horsik Damanik (Partuanon Sidamanik)
Editor: Jonli Simarmata