Oleh : Nikmatul Sugiyarto
Kasus Pembunuhan Brigadir J, siapa gerangan yang tidak pernah mendengar berita santer itu? Informasinya sudah setiap hari mewarnai media digital. Anak kecil yang tidak tahu duduk perkaranya kasus itu juga ikut hafal nama si pembunuh berencana.
Drama yang diskenariokan Ferdi Sambo berjalan alot, lewat perdebatan dan pernyataan saksinya. Tapi semua menemukan arahnya, keadilan menembus semua kebohongan yang menimpa Joshua. Putusan atas pembalasan pun dijatuhkan untuk Sambo dan antek-anteknya.
Keluarga yang terseret dalam pusaran drama petinggi kepolisian itu, merasa lega dengan hukuman yang dijatuhkan untuk pembunuh anak mereka. Itulah gambaran yang terjadi, jika para pelaku penculikan dan pelanggaran HAM pada masa orba diadili. Akan banyak yang terlibat, dan tidak akan berjalan mulus karena palakunya memiliki kekuasaan tinggi.
Uang dan jabatan menjadi senjata yang membuatnya bisa berkelit dari perkara utama. Memang akan membutuhkan waktu yang tidak singkat, tapi dengan mengusut tuntas semua menjadi jelas dan pasti. Keluarga pun akan merekasan ketenangan dalam menjalani hidup mereka masing-masing.
Tapi niat itu tak akan terwujud dengan sekejab, karena bukti yang tersisa sudah dimusnahkan. 25 tahun sudah waktu berlalu dengan kenangan kelam yang menyayat hati atas orang terkasih dari bagian hidup mereka, keluarga para korban. Memori itu terurai kembali dalam talkshow bersama keluaga korban yang digelar oleh PBHI Nasional.
Mereka sangat menyayangkan atas tindakan kader PDIP, Budiman Sudjatmiko yang mengatakan bahwa tragedy Mei 1998 sudah selesai. Ayah Ucok, Ibunda Stefanus yang menjadi wali dari korban penculikan aktivis dan barisan bintang tamu menyangkal jikalau peristiwa kerusuhan itu sudah selesai.
Bagaimana bisa dikatakan sudah selesai kalau pelaku utama dalam kejadian itu masih hidup enak, dan melenggang menjadi salah satu kandidat pemimpin negeri ini?
Ya, tokoh utama dalam peristiwa penculikan itu adalah Prabowo Subianto. Maria dan Paian tidak terima atas fasilitas hidup yang kini berpihak pada Prabowo. Karena dia belum mempertanggungjawabkan perbuatannya di masa lalu.
Bagaimana bisa dibilang sudah kelar, kalau dia tidak mendapat hukuman sama sekali atas tindakan brutalnya?
Budiman menjadi saksi dari tindakan bengis itu, karena dia juga menjadi salah satu korban dari aksi Tim Mawar yang dikomando Prabowo. Memang sudah menjadi rahasia umum, jika isu Budiman mengunjungi Prabowo adalah satu bentuk dukungan politik yang mengarah pada ketum Gerindra itu.
Paian pun juga sudah meneriakkan agar Budiman dan kelompok lain tidak membela pelanggar HAM, hanya karena posisi ataupun jabatan yang ditawarkan. Karena hal itu melukai hati keluarga korban yang berjuang 25 tahun ini untuk mencari keadilan bagi anak mereka.
Aku pun tidak menyalahkan statement dari ayah Ucok tadi, tapi perlu diketahui apa motif tersembunyi Budiman mendatangi markas besar menhan itu. Kata orang Budi ini membelot dari partai yang membesarkan namanya, padahal terlihat selama ini kesetiaannya terhadap PDIP tak terlekang oleh waktu.
Sedikit sinyal terpancar dari aksi turun gelanggang Budiman. Dia yang dulu menjatuhkan statemen Prabowo adalah manusia gagal, tidak mungkin mudah berubah hanya karena sebuah jabatan. Kalau memang begitu sudah dari dulu dia pindah haluan kepada Prabowo.
Langkahnya itu memiliki tujuan untuk membuka kedok sang menhan. Itulah yang coba dipaparkan kemarin bertepatan dengan pengungkapan cerita keluarga korban. Bersama chanel youtube Gaspol, Budiman membuka satu topeng yang membuat semua murka.
Kepada narasumber, Budiman mengungkapkan bahwa Prabowo telah mengakui penculikannya. Tapi setelah itu ada narasi pembelaan yang dikatakan Prabowo. Setelah melakukan penculikan itu, ia mengaku sudah mengembalikan para aktivis. Malah dia juga turut mempertanyakan dimana keberadaan aktivis yang kini hilang ditelan bumi. Basi memang pernyataan teman tuannya Fadli Zon itu.
Pernyataan itu memang tidak atau malah belum memiliki kelanjutannya. Clue Budi ini seperti pelengkap potongan puzzle yang dulu tercecer. Benar kalau para aktivis sudah dilepas, lalu apa dengan begitu saja kata melepas dan mengembalikan itu? Tidak, kehidupan mereka masih menjadi bulan-bulanan tim mawar.
Seperti penguntit yang tahu jadwal kegiatan dan keberadaan para aktivis di siang dan malam hari. Itulah mengapa Maria sampai mengisahkan anaknya yang dibakar hidup-hidup. Pada akhirnya bukti lenyap seketika.
Begitu pula metode pembunuhan lain, yang berakhir dengan membuang jasad korban ke sungai. Mana ada bukti yang tersisa, kalau sudah seperti itu? Itulah mengapa pemerintah juga sulit mengeksplore kasus ini, karena bukti sudah dibumihanguskan.
Satu-satunya yang tersisa adalah saksi yang masih hidup hingga sekarang. Seperti halnya Budiman yang bergerilya, meskipun orang awam akan mengira tindakannya adalah sebuah pembelotan.
Tidak akan mudah memang mengusut peristiwa lama. Ya perbandingannya seperti Sambo tadi. Kasusnya tergolong baru dan pengusutannya relative cepat dengan mengerahkan semua civitas. Termasuk Presiden Joko Widodo, yang memerintahkan untuk mengekspos penyelesaian kasus pembunuhan berencana itu.
Jokowi sudah melibatkan rakyat sebagai kontrol dalam pencarian keadilan bagi Joshua. Apa salahnya kalau kita mencoba lagi? Jokowi sudah mengambil tindakan untuk menegakkan keadilan mulai dari ujung provinsi, Nanggroe Aceh Darussalam.
Itulah mengapa dukungan penuh untuk mengusut peristiwa naas pada zaman orba tidak akan sirna, selama undang-undangnya tidak dilenyapkan. Karena yang namanya kasus penghilangan paksa tidak memiliki batas kapan dapat diakhiri perkaranya. Selama keluarga korban masih memperjuangkan hak mereka dan ada pemerintah yang menjadi support system, semua bisa terjadi.
Di luar dua komponen itu pun, pemerintah dan pelaku juga harus mempertanggungjawabkan kejadian yang memakan korban di masa lampau itu. Karena hanya dengan begitu kejadian tersebut tidak lagi mengahantui bangsa dan negara ini, dan pastinya dapat memberi efek jera bagi pelaku.
Hal itu pula yang nanti dipertanggungjawabkan secara internasional, kepada organsasi besar yang menangani HAM. Tentu tujuannya agar nama negara kita juga tidak dikenal sebagai negara yang memiliki jejak hitam terhadap HAM setiap rakyatnya.