Penulis : Pdt Rawalfen Saragih
Pada masa menjelang *Pilkada* songon sonari on, suasana di sekitar kita sering berubah menjadi ajang penuh ambisi dan kepentingan. Sebagai pendeta yang melayani jemaat, kita tidak terhindar dari gelombang pengaruh tersebut. Calon-calon yang berlomba-lomba merebut posisi dengan berbagai cara kerap melibatkan kita sebagai sosok berpengaruh di tengah masyarakat. Janji-janji manis, iming-iming yang menggoda, dan harapan akan perubahan sering kali menggoyahkan posisi kita yang seharusnya tetap teguh di dalam panggilan ilahi.
Namun, kita harus selalu ingat bahwa panggilan kita sebagai juak2 ni Naibata, adalah untuk membawa terang di tengah kegelapan, bukan untuk menjadi bagian dari permainan duniawi yang merugikan. Politik, dengan segala dinamikanya, adalah ruang yang sangat rentan untuk menjerat kita dalam kompromi yang berbahaya. Serangan fajar, “money politik,” dan baliho-baliho yang menjanjikan masa depan yang lebih baik, semuanya bisa tampak sangat menggoda, terutama ketika kita sendiri merasakan keterbatasan materi dalam pelayanan.
Tetapi, di manakah kita akan berdiri? Apakah kita akan menggadaikan integritas rohani kita demi keuntungan duniawi yang sementara? Atau kita akan tetap memegang teguh komitmen pelayanan yang murni, yang bebas dari pengaruh politik yang mencemari? Sebagai pemimpin rohani, kita tidak hanya bertanggung jawab atas diri kita sendiri, tetapi juga atas jemaat yang menaruh kepercayaan kepada kita. Setiap keputusan kita, baik atau buruk, memiliki dampak yang luas, bukan hanya dalam hal suara pemilu, tetapi juga dalam hal jiwa-jiwa yang kita layani.
Keterlibatan langsung dalam politik dengan cara yang tidak sehat bisa menimbulkan kekacauan, baik dalam kehidupan pribadi kita maupun dalam jemaat yang kita pimpin. Para pendeta yang terpengaruh oleh janji-janji calon pemimpin akan kehilangan suara kenabian mereka. Kita dipanggil bukan untuk menjadi corong kekuasaan duniawi, tetapi untuk berbicara kebenaran dalam cinta kasih. Ketika kita membiarkan diri tergoda oleh politik uang, kita secara tidak langsung memberi teladan yang buruk kepada jemaat—teladan yang mengatakan bahwa harga diri dan panggilan kita bisa dibeli.
Dalam Mazmur 146:3, kita diingatkan, “Janganlah percaya kepada para pemimpin, kepada anak manusia yang tidak dapat memberikan keselamatan.” Ayat ini menegaskan bahwa harapan kita bukan pada manusia yang penuh keterbatasan, melainkan kepada Tuhan yang tidak pernah gagal. Sebagai pendeta, kita harus memastikan bahwa fokus kita selalu tertuju kepada Allah, bukan kepada janji-janji kosong dari politikus yang sering kali hanya memanfaatkan situasi untuk keuntungan pribadi.
Sebaliknya, ketika kita tetap berdiri teguh dalam kebenaran, kita memberikan contoh yang kuat bagi jemaat bahwa pemimpin sejati tidak diukur dari jabatan atau kekuasaan, tetapi dari integritas dan ketulusan hati. Gereja bukanlah tempat untuk kampanye politik, dan altar bukanlah mimbar untuk menyebarkan agenda duniawi. Jika kita terjebak dalam jebakan ini, kita justru kehilangan otoritas moral yang Tuhan berikan kepada kita.
Dalam menghadapi situasi politik yang menggoda, mari kita ingat panggilan dasar kita: menjadi gembala yang setia, menjaga domba-domba yang Tuhan percayakan kepada kita. Kita harus menempatkan kesetiaan kepada Tuhan di atas segala-galanya. Ketika kita teguh dalam panggilan kita, tidak ada serangan fajar, tidak ada uang yang bisa menggoyahkan kita. Sebab apa yang kita layani bukanlah untuk hari ini saja, tetapi untuk kekekalan.
Setiap kali kita dihadapkan pada godaan politik, tanyakanlah pada diri sendiri: Apakah ini sejalan dengan panggilan saya sebagai pelayan Tuhan? Apakah ini akan membawa kebaikan bagi jemaat yang saya layani? Apakah saya tetap menjadi terang dan garam di tengah dunia yang semakin gelap? Ketika kita bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan hati yang jujur, maka kita akan tahu langkah yang benar untuk diambil.
Sebagai penutup, mari kita renungkan kata-kata Rasul Paulus dalam Roma 12:2, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu.” Kita tidak dipanggil untuk mengikuti arus dunia, tetapi untuk menjadi teladan yang hidup, yang membedakan kita dari sistem yang korup dan penuh tipu muslihat. Sebab pada akhirnya, pengaruh kita sebagai pendeta bukanlah pada kemampuan kita mendekati para politikus, tetapi pada kesetiaan kita menjalankan panggilan Tuhan dengan integritas yang tak tergoyahkan.
Tuhan memberkati setiap langkah kita, memberikan kita kekuatan untuk tetap teguh di tengah badai politik, dan memampukan kita menjadi gembala yang setia bagi domba-domba-Nya.
*Horas!!*